Wednesday, July 17, 2019

Feasibility dan Visibility dari Proyek Pembangunan Perangkat Lunak

Dua kata yang pengucapannya mirip yaitu feasibility dan visibility. Namun yang pertama memiliki arti kelayakan dan yang terakhir visibilitas (jelas terlihat/terbaca).

Dalam konteks software project management, dulu saya pikir dua hal ini sama, bahkan mengira penulisan seperti "visibilitas proyek" adalah salah tulis yang harusnya "kelayakan proyek" alias project feasibility, tapi ternyata memang berbeda maknanya. Secara umum saya mengambil definisi berikut (setelah baca sana sini, terutama dari https://www.simplilearn.com/feasibility-study-article dan https://www.liquidplanner.com/blog/project-management-challenge-5-no-visibility-project-status/):

Feasibility (kelayakan) proyek adalah penilaian potensi keberhasilan dari pengerjaan proyek. Feasibility ini adalah aspek yang harus dilakukan di awal untuk menentukan layak tidaknya suatu proyek dilaksanakan. Jika dinilai tidak layak maka tidak dikerjakan atau dicarikan solusi lain. Berdasarkan situs simplilearn di atas, ada 5 jenis studi kelayakan yaitu:

  1. Kelayakan Teknis
  2. Kelayakan Ekonomi
  3. Kelayakan Legalitas (aspek hukum)
  4. Kelayakan Operasional
  5. Kelayakan Penjadwalan
Lebih lanjut tentang kelima hal di atas, bisa dibaca di link simplilearn di atas.

Adapun Visibilitas proyek adalah kejelasan progress atau perkembangan kemajuan dari proyek. Termasuk juga dalam hal ini adalah penggunaan sumber daya (resource allocation) dan risiko-risiko yang potensial. 

Jika kita tidak mudah mencari tahu bagaimana perkembangan proyek sampai dengan saat ini? Siapa sedang mengerjakan apa? Apa hambatan/masalah yang ditemui dalam pengerjaan suatu modul yang sedang berlangsung? Butuh berapa lama waktu untuk menyelesaikan suatu modul atau fitur? Maka ini berarti visibilitas proyek kurang.

Untuk dapat menunjang visibilitas maka aktivitas-aktivitas utama dalam proyek harus bersifat trackable, komunikasi tim juga harus baik. Pemanfaatan tools dan dokumentasi juga sangat berperan untuk menunjang visibilitas. Tools seperti Trello, Atlassian Jira, atau Gitscrum bisa dipakai untuk melacak tugas-tugas yang akan/sedang/telah dikerjakan. Tiap tool biasa menawarkan fitur-fitur tambahan selain pelacakan, tapi jangan sampai terjadi juga, yaitu tata cara atau pendekatan yang kita pakai dalam monitoring & control proyek didikte oleh tools yang dipakai sedangkan kebutuhan yang sesungguhnya ternyata berbeda.


Saturday, July 13, 2019

Lemah Empati

Sedang mengantri pesan makanan di Burger King salah satu cabang di Gowa. Nampak isi toko ramai dan antrian di kasir juga berjubel. Beberapa orang kesulitan mendapatkan tempat duduk karena penuh terisi. Yang sedang antri memesan juga was-was seandainya sudah siap santap tapi tidak kebagian tempat duduk. Begitulah risiko kalau tempat sedang ramai dan penuh terisi.

Ada situasi yg tidak wajar saya jumpai, yaitu orang-orang yg telah selesai makan masih duduk lama tanpa peduli bahwa banyak orang lain yg sedang mencari tempat. Mereka merasa bukan masalahnya, toh sudah membayar dan sepenuhnya hak mereka mau duduk berapa lama pun. Tipikal seperti ini berarti empatinya sangat kurang bahkan mungkin tidak ada. Bisa jadi karena tidak pernah dididik untuk memiliki empati ke sesama manusia maupun makhluk.

Kebersihan Toilet dan Kemajuan Suatu Masyarakat

Dikatakan bahwa jika ingin mengetahui kemajuan suatu masyarakat, maka tengoklah bagaimana kondisi toilet umumnya. Jika berbau ataupun kotor maka berarti masyarakat setempat masih ... ya tahu sendiri kelanjutannya kan? XD

Wednesday, July 10, 2019

Ditolak Masuk SMP Karena Faktor Usia

Berikut cuplikan berita yang saya baca hari ini dengan judul Ditolak Masuk SMP Negeri karena Terlalu "Tua", Remaja Putri Ancam Bunuh Diri (https://regional.kompas.com/read/2019/07/10/22113481/ditolak-masuk-smp-negeri-karena-terlalu-tua-remaja-putri-ancam-bunuh-diri)

Tidak seharusnya hak pendidikan seseorang dibatasi oleh faktor usia, apalagi untuk kasus di atas hanya selisih 1 bulan bahkan mungkin kurang dari batas syarat. Permendikbud nomor 14 tahun 2018 mensyaratkan usia masuk SMP adalah maksimal berusia 15 tahun. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka solusi yang tersedia adalah ambil paket B.

Maksud peraturan tersebut mungkin agar rentang usia tidak terlalu beragam. Tapi pada kasus ini hanya terpaut sedikit sekali, dan  selama sekolah bisa menampung (tidak melebihi kapasitas) maka jangan ditolak.

Kenapa lembaga pendidikan kita yang seharusnya mendidik dan melahirkan insan manusia yang adil, malah dipaksa berlaku tidak adil melalui aturan tersebut. Yang seharusnya mendidik dan melahirkan insan yang mampu menggunakan nurani dan akal sehatnya, justru dipaksa mengingkari nuraninya. Mungkin itulah yang terjadi jika lembaga pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, tidak lagi paham "ruh" yang sesungguhnya dari pendidikan.

Cartoon by Scott Simmerman