Tuesday, December 09, 2008

Acara "pembacaan"

Tadi malam saya mengantarkan Ibu saya pergi berbelanja barang kebutuhan untuk acara "pembacaan" yang akan dilakukan oleh kakak saya yang sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis di suatu universitas negeri di Makassar. Saya lihat ibu membeli sekitar 3 jenis barang tapi dalam kuantitas yang cukup banyak dan total belanjaan mencapai ratusan ribu. Di mobil dalam perjalanan pulang, saya berbincang-bincang dengan ibu saya, dan dari situ saya mengetahui bahwa barang yang dibeli tadi adalah untuk konsumsi 60 orang yang akan hadir dalam acara "pembacaan" kakak saya.

Saya lalu bertanya, apakah menyediakan konsumsi seperti ini adalah sesuatu kewajiban bagi mahasiswa? Mengingat ini bukan kali pertama kakak saya melakukan acara "pembacaan" dan saya juga sering mendengar dari orang-orang lain tentang acara "pembacaan" ini. Beberapa tahun lalu, kakak saya juga pernah melakukan "pembacaan" dan waktu itu ibu memesan beberapa puluh nasi dos dan juga menghabiskan biaya yang tidak sedikit (untuk ukuran kantong saya). Ibu saya lalu mengatakan bahwa sebenarnya hal ini bukanlah suatu kewajiban tapi sudah menjadi kebiasaan. Lebih lebih katanya, yang masuk jurusan kedokteran sudah pasti adalah orang2x yg "berkecukupan" dari segi ekonomi sehingga hal seperti ini dirasa tidak terlalu masalah. Hmm...

Sepengetahuan saya, konsumsi yang biasa disediakan untuk kegiatan "pembacaan" ini adalah konsumsi yang cukup berkelas (menurut ukuran saya), jadi bukan konsumsi ala kadarnya yang bisa kita temui di kantin-kantin kampus ataupun warung atau toko-toko kue biasa. Otomatis untuk menyediakan konsumsi yang agak berkelas itu, harus merogoh kocek yang tidak sedikit.

Saya lalu berpikir, bagaimana dengan mahasiswa yang tergolong pas-pasan ekonominya, tentu hal seperti ini sungguh menjadi beban baginya. Tapi kembali lagi saya teringat apa yang dikatakan ibu saya bahwa para mahasiswa yang masuk kedokteran, sudah pasti ekonominya sangat berkecukupan. Oke, saya terima kenyataan bahwa memang hal ini sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun di lingkungan pendidikan tempat kakak saya. Tapi bagaimanapun sebagai lembaga pendidikan, harusnya pihak kampus bisa menyadari hal ini sejak dulu dan mulai mengurangi kebiasaan ini. Tidak boleh menggunakan alasan "sudah menjadi kebiasaan" ataupun alasan karena ekonomi para mahasiswa-nya berkecukupan, maka hal ini dibiarkan saja. Memang mungkin para mahasiswa tidak ada yang protes atau keberatan, tapi hal ini tidak mendidik, apalagi kondisi masyarakat kita yang masih banyak orang kelaparan dan kurang gizi. Lembaga pendidikan harusnya mampu mengajari dan memberi contoh kepada para didikannya, bukan hanya materi-materi akademik yang menjadi subjek/jurusan/konsentrasi para anak didik, tapi juga memberi contoh untuk perilaku dan akhlak yang baik serta kepedulian sosial. Contoh praktisnya untuk kasus "pembacaan" ini misalnya, dosen bisa menghimbau kepada para mahasiswa bahwa konsumsi tidak wajib disediakan, dan kalaupun ada yang mau menyediakan, silahkan yang ala-kadarnya saja, toh yang hendak diberi makan bukanlah orang kelaparan, maka jangan terlalu menghambur-hamburkan uang untuk menyediakan konsumsi, lebih baik berhemat saja, atau kalau ada uang lebih silahkan sumbangkan ke kampus guna keperluan penyelenggaraan pendidikan, atau membantu orang2x yang membutuhkan, atau teman2x mahasiswa lain yang lebih membutuhkan (mengingat masih banyak mahasiswa2x dari daerah yang setiap bulannya mendapat kiriman dana yang sangat pas-pasan). Hehe... saya cukup bersyukur karena selama masa kuliah saya berteman dengan banyak orang dari berbagai kalangan, melihat beragam sisi kehidupan yang berbeda-beda mulai dari teman2x kos yang sangat pas-pasan (kalau bukan kurang) ekonominya, hingga melihat anak2x orang kaya yang tinggal di apartemen mewah dan mengendarai mobil jaguar ketika pergi kuliah.


"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan." Pramoedya A. Toer (Bumi Manusia; Jean Marais, hal 52)


PRT diduga disiksa polisi

Seminggu yang lalu saya membaca berita di harian Kompas (http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/01102378/diduga.mencuri.laptop.prt.dianiaya.polisi), tentang seorang perempuan pembantu rumah tangga (PRT), Nanik, di Makassar yang dilaporkan oleh majikannya ke Polisi karena diduga mencuri laptop dan telepon genggam milik majikannya. Di kantor polisi, sang PRT pun mendapat siksaan dari polisi agar mau mengakui tindakan pencurian yang dituduhkan kepadanya.

Berita penyiksaan seperti ini sebenarnya bukan hal baru di republik kita. Tapi kali ini saya singgung karena kebetulan terjadi di Makassar, yang menjadi tempat tinggal dan basis utama kerja saya saat ini. Saya cukup kaget dan hanya bisa mengurut dada membaca berita tersebut. "Hebat" sekali para polisi tersebut, bukannya menggunakan akal pikiran dan mengedepankan cara-cara pemeriksaan yang benar, tapi hanya mengandalkan otot.

Sepengetahuan saya, untuk menjadi seorang polisi seseorang harus cukup pintar secara akademis. Kalau saya tidak salah ingat, hal ini ditunjukkan dengan adanya syarat bagi para siswa lulusan SMU yang hendak melamar jadi polisi, maka siswa pelamar tersebut harus dari jurusan IPA. Dengan asumsi "pintar secara akademis" maka seharusnya lulusan kepolisian juga pintar dalam mengetahui tindakan atau akhlak mana yang benar dan mana yang salah. Tapi sepertinya kita lebih banyak mendengar tentang perilaku polisi yang sesukanya menyiksa "korban"-nya untuk mendapatkan pengakuan agar suatu kasus cepat selesai. Sepertinya "kepintaran" yang semula dimiliki oleh calon-calon polisi ini berangsur-angsur hilang setelah menjadi polisi. Hmm... apakah ada yang salah dengan cara mereka dididik menjadi polisi? Entahlah.

Kembali ke soal PRT tadi, bukannya mencoba membuktikan apakah si PRT memang betul mencuri laptop dan telepon genggam, polisi malah memaksa agar si PRT mau mengakui tuduhan yang ditimpahkan kepadanya:

"Sabtu sekitar pukul 01.00, penyidik memindahkan tempat pemeriksaan. ”Tiga orang berpakaian preman membawa saya ke ruangan lain. Tangan saya diborgol ke belakang dan wajah saya dikerudungi kain sarung. Saya kemudian disuruh berbaring di lantai, sementara hidung saya dipasangi selang. Selang itu selanjutnya dialiri air. Saya tersedak dan meminum banyak air. Dalam kondisi seperti itu, saya dipaksa mengaku mencuri. Pinggang kiri saya ditendang, kata Nanik.

Sekitar pukul 04.00 penyiksaan dihentikan. ”Saya lalu disuruh cap tiga jari di atas berkas polisi. Saya tidak tahu isinya karena saya tidak bisa membaca. Polisi juga tidak membacakan isinya,” kata ibu empat anak itu."

Polisi baru mau melepaskan Nanik setelah suaminya memohon kepada majikan Nanik untuk datang ke kantor polisi tempat Nanik ditahan. Luar biasa, kalau memang Nanik benar diduga keras terlibat pencurian, maka seharusnya polisi tetap menahannya dengan mengemukakan alasan-alasan yang rasional. Tapi dengan model seperti ini, tentu semakin menguatkan dugaan kita semua bahwa para polisi tersebut hanya bisa menyiksa Nanik guna memperoleh pengakuan tanpa memedulikan apakah cukup bukti untuk menyatakan Nanik bersalah atau tidak.

Menulis cerita ini saya jadi ingat suatu lelucon tentang BIN (Badan Intelijen Negara), TNI, dan Polri: Suatu ketika diadakan lomba untuk membandingkan kemampuan BIN, TNI, dan Polri dalam mengusut suatu kasus. Panitia lomba lantas melepaskan seekor tikus ke tengah hutan dan memberi tugas kepada ketiga kelompok tersebut untuk mencari tikus yang dilepas tadi. Yang pertama masuk hutan adalah BIN. Setelah beberapa jam di dalam hutan, personel BIN pun keluar dan mengatakan kepada panitia bahwa tidak ada tikus, hal itu hanyalah isu belaka dan tidak benar :D Berikutnya giliran TNI yang masuk ke hutan. Begitu masuk, TNI langsung memporak porandakan hutan, dan kemudian membakarnya hingga habis. Seluruh makhluk terpanggang di dalamnya. Mereka pun keluar dengan bangga dan mengatakan kepada panitia bahwa tikus sudah ditemukan, dan tentu saja dalam kondisi sudah menjadi bangkai ;p
Giliran terakhir adalah Polri. Beberapa anggota polisi pun diutus untuk masuk ke dalam hutan. Baru 5 menit masuk, tiba-tiba mereka sudah keluar. BIN, TNI, dan panitia lomba kaget bukan main sebab sangat cepat. Salah seorang dari polisi tersebut terlihat memegang seekor kelinci yang nampak ketakutan dan berteriak-teriak "ampun...! ampun.. ! saya mengaku... saya mengaku... saya tikus"
hihihi.... =p



"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana." - Pramoedya A. Toer (Anak Semua Bangsa, 390)


My first C book

C Programming Guide C Programming Guide by Jack J. Purdum


My review


rating: 4 of 5 stars
Seingat saya ini adalah buku pemrograman bahasa C yang puaaling pertama saya baca, bahkan sebelum perkuliahan saya yg menggunakan bahasa C dimulai. Sekitar tahun 2000 saya membeli buku ini, di Makassar, dan penerbitnya (utk edisi Indonesia) adalah Erlangga.

Buku ini sangat bagus dalam menjelaskan bahasa C, terutama bagi pemula. Buku ini berbeda spt buku2x programming pada umumnya yg bahasannya hanya seputar syntax, deklarasi tipe data, struktur kontrol, dan contoh2x program yg basbang. Buku ini menjelaskan banyak konsep dan pengetahuan yg tersembunyi tentang bahasa C, yang mencerminkan sang penulis (DR. Jack Purdum) bukanlah seorang penulis buku programming dadakan, dan pengetahuannya akan dunia pemrograman saya acungi jempol.

Buku ini tidak terlalu tebal, tapi tidak juga tipis (spt buku pemrograman yg kurang gizi). Bagi para pencinta bahasa C, saya rasa mereka pasti menghargai isi dari buku ini. Sekarang saya belum pernah lagi menjumpai buku C ini di toko2x buku modern, mungkin karena sudah tidak diterbitkan lagi?

View all my reviews.

Cartoon by Scott Simmerman