Tuesday, December 09, 2008

PRT diduga disiksa polisi

Seminggu yang lalu saya membaca berita di harian Kompas (http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/01102378/diduga.mencuri.laptop.prt.dianiaya.polisi), tentang seorang perempuan pembantu rumah tangga (PRT), Nanik, di Makassar yang dilaporkan oleh majikannya ke Polisi karena diduga mencuri laptop dan telepon genggam milik majikannya. Di kantor polisi, sang PRT pun mendapat siksaan dari polisi agar mau mengakui tindakan pencurian yang dituduhkan kepadanya.

Berita penyiksaan seperti ini sebenarnya bukan hal baru di republik kita. Tapi kali ini saya singgung karena kebetulan terjadi di Makassar, yang menjadi tempat tinggal dan basis utama kerja saya saat ini. Saya cukup kaget dan hanya bisa mengurut dada membaca berita tersebut. "Hebat" sekali para polisi tersebut, bukannya menggunakan akal pikiran dan mengedepankan cara-cara pemeriksaan yang benar, tapi hanya mengandalkan otot.

Sepengetahuan saya, untuk menjadi seorang polisi seseorang harus cukup pintar secara akademis. Kalau saya tidak salah ingat, hal ini ditunjukkan dengan adanya syarat bagi para siswa lulusan SMU yang hendak melamar jadi polisi, maka siswa pelamar tersebut harus dari jurusan IPA. Dengan asumsi "pintar secara akademis" maka seharusnya lulusan kepolisian juga pintar dalam mengetahui tindakan atau akhlak mana yang benar dan mana yang salah. Tapi sepertinya kita lebih banyak mendengar tentang perilaku polisi yang sesukanya menyiksa "korban"-nya untuk mendapatkan pengakuan agar suatu kasus cepat selesai. Sepertinya "kepintaran" yang semula dimiliki oleh calon-calon polisi ini berangsur-angsur hilang setelah menjadi polisi. Hmm... apakah ada yang salah dengan cara mereka dididik menjadi polisi? Entahlah.

Kembali ke soal PRT tadi, bukannya mencoba membuktikan apakah si PRT memang betul mencuri laptop dan telepon genggam, polisi malah memaksa agar si PRT mau mengakui tuduhan yang ditimpahkan kepadanya:

"Sabtu sekitar pukul 01.00, penyidik memindahkan tempat pemeriksaan. ”Tiga orang berpakaian preman membawa saya ke ruangan lain. Tangan saya diborgol ke belakang dan wajah saya dikerudungi kain sarung. Saya kemudian disuruh berbaring di lantai, sementara hidung saya dipasangi selang. Selang itu selanjutnya dialiri air. Saya tersedak dan meminum banyak air. Dalam kondisi seperti itu, saya dipaksa mengaku mencuri. Pinggang kiri saya ditendang, kata Nanik.

Sekitar pukul 04.00 penyiksaan dihentikan. ”Saya lalu disuruh cap tiga jari di atas berkas polisi. Saya tidak tahu isinya karena saya tidak bisa membaca. Polisi juga tidak membacakan isinya,” kata ibu empat anak itu."

Polisi baru mau melepaskan Nanik setelah suaminya memohon kepada majikan Nanik untuk datang ke kantor polisi tempat Nanik ditahan. Luar biasa, kalau memang Nanik benar diduga keras terlibat pencurian, maka seharusnya polisi tetap menahannya dengan mengemukakan alasan-alasan yang rasional. Tapi dengan model seperti ini, tentu semakin menguatkan dugaan kita semua bahwa para polisi tersebut hanya bisa menyiksa Nanik guna memperoleh pengakuan tanpa memedulikan apakah cukup bukti untuk menyatakan Nanik bersalah atau tidak.

Menulis cerita ini saya jadi ingat suatu lelucon tentang BIN (Badan Intelijen Negara), TNI, dan Polri: Suatu ketika diadakan lomba untuk membandingkan kemampuan BIN, TNI, dan Polri dalam mengusut suatu kasus. Panitia lomba lantas melepaskan seekor tikus ke tengah hutan dan memberi tugas kepada ketiga kelompok tersebut untuk mencari tikus yang dilepas tadi. Yang pertama masuk hutan adalah BIN. Setelah beberapa jam di dalam hutan, personel BIN pun keluar dan mengatakan kepada panitia bahwa tidak ada tikus, hal itu hanyalah isu belaka dan tidak benar :D Berikutnya giliran TNI yang masuk ke hutan. Begitu masuk, TNI langsung memporak porandakan hutan, dan kemudian membakarnya hingga habis. Seluruh makhluk terpanggang di dalamnya. Mereka pun keluar dengan bangga dan mengatakan kepada panitia bahwa tikus sudah ditemukan, dan tentu saja dalam kondisi sudah menjadi bangkai ;p
Giliran terakhir adalah Polri. Beberapa anggota polisi pun diutus untuk masuk ke dalam hutan. Baru 5 menit masuk, tiba-tiba mereka sudah keluar. BIN, TNI, dan panitia lomba kaget bukan main sebab sangat cepat. Salah seorang dari polisi tersebut terlihat memegang seekor kelinci yang nampak ketakutan dan berteriak-teriak "ampun...! ampun.. ! saya mengaku... saya mengaku... saya tikus"
hihihi.... =p



"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana." - Pramoedya A. Toer (Anak Semua Bangsa, 390)


No comments:

Cartoon by Scott Simmerman