Selasa, 29 April 2008 00:18 WIB
Denni B Saragih
Dietrich Bonhoeffer suatu kali memberi contoh tentang seorang anak yang ditanya gurunya di depan kelas, apakah bapaknya pernah pulang dalam keadaan mabuk.
Ketika menjawab tidak pernah, si anak telah berbohong karena kenyataannya tiap hari bapaknya pulang dalam keadaan mabuk. Masalahnya, kepada siapa beban dan sanksi moral ketidakjujuran si anak harus ditanggungkan? Kepada si anakkah? Atau kepada guru yang telah menempatkannya dalam posisi tidak berdaya untuk mengatakan kejujuran?
Kejujuran adalah sesuatu yang relasional. Unsur hubungan tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut kejujuran dan kecurangan. Kejujuran bukan sesuatu yang statis, tetapi sesuatu yang hidup dan dinamis sesuai konteks di mana kejujuran dan kecurangan terjadi. Memisahkan konteks kehidupan dari masalah kejujuran, menjadikan kejujuran sebagai sesuatu yang kosong, tinggal tampang semata.
Dari kacamata ini, membaca kecurangan ujian nasional (UN) bisa memberi pengertian berbeda tentang kecurangan yang terjadi.
Kecurangan dalam UN bukan fenomena steril yang bisa dipisahkan dari konteks kebijakan itu dilaksanakan. Artinya, kecurangan tidak harus dibaca sebagai ekspresi dari karakter curang dan licik yang harus diberikan sanksi dan hukuman. Kecurangan bisa berarti sebuah ekspresi rasa frustrasi dari guru dan siswa karena tidak berdaya menghadapi tuntutan sebuah kebijakan.
Eksperimen kejujuran
Mendiknas dalam berbagai kesempatan menyebutkan UN sebagai ujian kejujuran bagi guru dan siswa. Pernyataan ini menarik saat dibaca dalam konteks politikus menguji kejujuran para guru. Menguji kejujuran adalah pengujian sebuah karakter. Karena itu, eksperimen kejujuran ini adalah sebuah pedang bermata dua. Penguji kejujuran menempatkan diri pada posisi yang superior secara moral dalam hal kejujuran.
Penguji berarti lebih jujur, termasuk dalam menguji sebuah kebijakan yang disebut UN. Karena itu, UN adalah sebuah ujian kejujuran bagi para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Benarkah UN memiliki dampak meningkatkan mutu pendidikan sebanding dengan biaya, baik anggaran, sosial, psikologis maupun moral, yang harus dibayar?
Penangkapan 18 guru-guru di Lubuk Pakam yang sedang mengganti jawaban peserta UN adalah sebuah tragedi kejujuran. Membaca peristiwa ini semata-mata sebagai tindakan tidak bermoral yang harus dihukum dan dicela adalah sama seperti menyalahkan seorang anak yang berbohong untuk menutupi kenyataan bahwa orangtuanya adalah pemabuk.
Sebaliknya, pembuat kebijakan yang menempatkan guru-guru itu dalam posisi ”tidak berdaya” dan ”terpaksa membela” anak didiknya dengan cara-cara sungsang ini tidak sepatutnya mencuci tangan dengan memosisikan diri sebagai innocent evil.
Blunder etika dan sosial UN
UN adalah sebuah blunder etika. Menolong seorang pemabuk untuk berhenti sebagai pemabuk bukan dengan menempatkannya dalam sebuah rumah yang penuh minuman beralkohol. Membangun kejujuran dalam dunia pendidikan bukan dengan memberi tuntutan yang tidak masuk akal untuk dipenuhi guru dan siswa.
Pertanyaan yang mendegilkan diri untuk muncul setiap kali laporan kecurangan UN menunjukkan fenomena massal adalah, mengapa guru dan siswa sepakat beramai-ramai melakukan kecurangan?
Terlalu negatif bila dijawab, hal itu menunjukkan kemerosotan moral yang amat parah. Tanpa menyangkal bahwa gejala kemerosotan moral memang selalu terjadi, sulit untuk menutup mata terhadap penafsiran bahwa gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam menghadapi UN.
Karena itu, kecurangan UN adalah sebuah pemberontakan secara diam-diam (silent betrayal) dari sekolah, siswa, dan guru terhadap pembuat kebijakan UN. Ketika protes terbuka bukan sebuah pilihan yang menarik dan menyiapkan diri dengan berbagai drill sekeras-kerasnya berakhir dengan frustrasi dan desperasi, kecurangan UN adalah sebuah keniscayaan.
UN memikul beban terlalu berat ketika dijadikan syarat mutlak sebuah kelulusan. Benar sekali, UN adalah sebuah kejujuran, bukan bagi guru dan siswa, tetapi bagi para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan UN.
Denni B Saragih Dewan Pembina Komunitas Air Mata Guru