Sunday, November 30, 2008

Model Peran

Kembali postingan saya kali ini adalah hasil copas (copy & paste) dari harian Kompas (http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/30/0246079/model.peran) , tentang pandangan orang terhadap suatu penampilan. Happy reading :)

Model Peran
Samuel Mulya

Beberapa waktu lalu, saya merasa dilecehkan oleh seorang satpam di salah satu stasiun televisi nasional meski saya yakin petugas satpamnya tak bermaksud melecehkan saya. Mungkin dia tak mengerti, atau memang ia sudah memiliki standar yang dipercayai benar adanya.

Ceritanya begini. Suatu siang saya datang ke stasiun televisi itu. Saya mengenakan dalaman putih dipadu sweater tipis melekat pada tubuh dan celana berpotongan pipa yang menegaskan jenjang kaki saya yang aduhai itu, yang pernah sekali waktu memesona manusia yang tak seharusnya terpesona. Saya menghampiri meja penerima tamu dan memberi tahu saya memiliki janji temu dengan Bu A.

Dengan sigap ia memencet tombol telepon. Tetapi, selang sekian detik ia menutup telepon dan malah menyapa seorang bapak yang datang dan berdiri di belakang saya. Bapak ini berpenampilan sangat resmi, yaa… sangat bapak-bapak gitu deh. Mengenakan kemeja batik lengan panjang, perut buncit, dan rambut cepak. Saya juga tak tahu apakah itu penampilan standar, atau role model-nya demikian, agar bisa disebut bapak-bapak. Nurani saya sih bilang, yaaa… gitu deh.

Oh… batik, oh… setelan hitam

Si satpam langsung menyapa, ”Bisa saya bantu, Bapak?” Dan saya yakin Anda bisa menebak cerita selanjutnya. Si Bapak dilayani dengan pelayanan ala bos dan pembantu. Sementara saya cuma diam tak bisa berkutik dengan penampilan saya yang mungkin tidak memenuhi standar untuk dilayani ala big boss. Apalagi, badan saya itu kecil kurus. Pakai baju batik pun tak akan memberi pengaruh apa-apa. Manalagi perut saya seperti teve datar. Jadi, sama sekali tak mencerminkan gambaran bapak perut buncit yang akan mendapat fasilitas lebih. Malah saya tampak seperti anak SMA.

Setelah selesai mengurus Bapak buncit, si satpam kembali kepada saya dan berkata, ”Tadi mau ketemu siapa?”

Satu minggu setelah itu saya datang ke sebuah biro iklan yang menempati gedung pencakar langit yang dipenuhi manusia dari dunia perbankan. Jadi, Anda bisa membayangkan bagaimana mereka berpakaian. Tentunya sudah mirip seragam. Karena mungkin standarnya harus demikian, supaya ada wibawa, kelihatan bisa dipercaya, lebih gagah, dan sejuta alasan lain.

Saya menunggu lift, dan setelah terbuka, saya dihadang tiga bapak yang penampilannya seperti seragam itu. Mereka tinggi-besar, berkostum setelan serba hitam, dengan tatapan mata begitu tajam siap menerkam saya, seperti ikan hiu mau menangkap ikan mujair. Mungkin mereka bingung kok ada ”anak kecil” berkeliaran di gedung seperti ini dengan dandanan yang bisa jadi buat mereka, lebih cocok untuk acara piknik.

Harus saya akui, saya sempat keder, salah tingkah di tengah tiga manusia yang tampak resmi itu. Saya sampai berkata dalam hati, bisa enggak ya liftnya bergerak lebih cepat. Saya gerah di antara sebuah lingkungan yang bukan saya. Saya seperti terdakwa, padahal mungkin mereka tak berpikir seperti saya.

Jadi, setelah melalui dua kejadian itu saya sempat berpikir, apa saya perlu operasi untuk meninggikan badan, menghaluskan muka, membuncitkan perut, membesarkan otot biseps saya, dan rambut akan saya buat pendek seperti tentara. Jadi lebih ’terisi’ dan tidak kelihatan kopong.

Saya harus memenuhi kriteria itu, saya harus melihat pada peran model untuk dunia bapak-bapak itu kalau saya mau diperlakukan seperti kejadian di gedung stasiun televisi itu.

Oh… untung, oh… tidak untung

Minggu lalu saya menjadi pembicara di sebuah rumah batik di kota Semarang. Tema yang diberikan adalah ”Big, Bold and Beautiful”. Sementara saya skinny, slim and faaarrr from beautiful.

Yang membuat saya kaget setengah mati, ketika pembawa acara membuka kegiatan hari itu dengan mengatakan (intinya saja), ”Buat Ibu-ibu yang memiliki badan yang kurang beruntung, hari ini kami menghadirkan Bapak Samuel Kepret untuk memberi tip dan trik bagaimana tampil cantik dengan badan kurang beruntung itu.”

Waktu giliran saya berbicara, saya protes sedikit. Kurang beruntung? Apa ukurannya? Apakah ukurannya langsing sehingga mereka dianggap kurang beruntung? Sama seperti paradigma putih sama dengan cantik sehingga hitam tidak cantik? Mengapa si MC sampai berpikir badan besar itu kurang beruntung? Lha wong rumah batiknya saja bisa berpikir jeli sekali melihat kondisi tubuh demikian. Mereka bisa melihat badan yang menurut majalah mode tidak layak tampil di catwalk hanya pada keadaan tertentu atau kalau dibutuhkan, bisa menjadi salah satu sumber pemasukan.

Maka, ketika ada kesempatan tanya-jawab, nyaris pertanyaan hanya berkisar cara menutup ini dan menutup itu, mengurangi ini dan mengurangi itu. Dan seseorang bertanya, ”Kalau kulit saya hitam seperti ini, warna apa yang cocok?” Saya langsung menjawab, ”Semua cocok. Dan jangan lagi Anda mengatakan diri saya hitam.”

Apa salahnya menjadi hitam? Hanya karena ada model peran yang memaksa Anda jadi putih? Sejauh Anda bahagia, sejauh itu Anda cocok dan kalau Anda bahagia, Anda mau punya badan beruntung atau kurang beruntung itu tak jadi masalah. Karena, kalau Anda bahagia dalam penampilan, maka itu akan membahagiakan orang lain sehingga berpakaian pun menjadi sebuah ibadah. Bukan acara lomba, untuk memenuhi standar role model. Bukan juga berpakaian agar orang melayani Anda, meski nurani saya berkata, ”Dilayani itu lebih endang bo dari melayani.”

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

Kilas Parodi

Bagaimana Caranya Supaya Beruntung?

1. Jalan paling mudah, mulai sekarang berpikir dan katakan Anda manusia beruntung.

2. Jangan pernah membandingkan! Anda bukan produk, bukan merek. Anda manusia, bukan benda mati. Itu yang harus dicamkan sebelum Anda tersinggung karena orang melakukan perbedaan terhadap Anda. Sama seperti menganggap orang miskin. Mengapa? Karena standar yang dipakai materi. Padahal kalau saya miskin, hari ini makan nasi saja, kemudian dapat jatah dari atas, dari meja orang maksudnya, sebuah potongan paha ayam berikut tulisan ”Ini original”, maka saya akan senang sekali. Dan hari itu saya merasa diri saya kaya. Jadi, ”miskin” pun kaya. Pusing? Coba jadi ”miskin”, pasti tak akan pusing.

3. Saya kasihan karena melihat seseorang miskin. Padahal, yang miskin sudah terbiasa miskin. Jadi, mereka sudah bisa dan mampu mengatasi hal mengasihani diri sendiri. Bukan seperti saya yang selalu merengek menangisi diri sendiri. Kurang inilah, kurang itulah. Memang saya harusnya belajar dari mereka yang saya katakan miskin itu, padahal bisa memberi pelajaran hidup kepada saya. Betapa kaya dan beruntungnya si ”miskin” dan betapa miskinnya si kaya (yang saya maksud kaya, bukan saya loh).

4. Kalau dulu saya jadi korban mode karena saya memercayai apa yang dikatakan majalah-majalah mode, maka sekarang, kalau putih adalah ”the it color”, kalau tas ini adalah ”the it bag”, pertanyaan yang saya ajukan kepada diri sendiri adalah apakah itu harus saya turuti?

Kalau model yang ditampilkan itu harus kurus, apa harus juga saya ikuti? Kalau ada krim tua, apa yaaa… saya juga harus ikuti sehingga lupa seharusnya saya mensyukuri bisa punya kerut karena tak semua orang beruntung memiliki kerutan itu.

Sayangnya, ada pendapat, kerutan hanya membuat seorang wanita tampak menuakan! Oleh karenanya, yang dimaksud awet muda adalah kulit seperti bayi dan mengurangi atau menghilangkan kerut. Padahal awet muda, buat saya bukan berakhir dengan mengurangi atau menghilangkan kerut.

Awet muda adalah satu momen saat Anda berani menerima dengan hati berbahagia sebuah keadaan menjadi tua dan berkerut. Jadi, yang awet adalah kebahagiaannya. Itu yang memampukan membuat seseorang kelihatan muda. (Samuel Mulia)

No comments:

Cartoon by Scott Simmerman